Cetak
Dilihat: 1126

DULU, dulu sekali, ketika bencana datang bertubi-tubi di beberapa daerah dan yang menjadi korban adalah warga pengadilan di beberapa kabupaten/kota provinsi di Nusantara. Cerita bencana itu hanya menjadi urusan getir bagi para korban dan keluarganya sendiri.
Mahkamah Agung RI (MA) sebagai Lembaga peradilan tertinggi maupun Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) sebagai paguyuban profesi di pengadilan nir empati. Biar pun sekadar memberi ucapan keprihatinan atas musibah yang telah terjadi.
Memang zaman itu revolusi teknologi informasi belum sedahsyat saat ini. Tapi, setidaknya ada televisi dan ada pula media cetak lokal maupun nasional yang harusnya dapat dipakai untuk menyampaikan pesan empati.

IKAHI DAN KEPEDULIAN SOSIAL

Boro-boro mau datang sendiri pejabat-pejabat itu untuk melihat anakbuahnya yang remuk-redam, hancur tertimpa bencana saat menjalankan tugas di daerah. Bahkan  memanfaatkan televisi dan koran sambil berdiri sedih di depan kamera dan juru tinta, lalu menyampaikan bahwa lembaga dan organisasi prihatin dan ikut merasa larut dalam duka mendalam, hal tersebut tidak dilakukan.

Mungkin saja ada dalih saat itu sesungguhnya sudah dilakukan. Tapi saya dan mungkin warga pengadilan di daerah lainnya tidak merasakan itu. Mungkin saya terlalu pelosok untuk mendapat pesan solidaritas lembaga dan organisasi.

Dari hakim yang hilang diculik sekelompok separatis Aceh saat menjalankan tugas pada tahun 2000, yang menjadi trigger eksodusnya puluhan hakim Pengadilan Negeri (PN), Pengadilan Agama (PA), Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), dan militer di wilayah Aceh.

Jasad maupun makam hakim PN Tapaktuan Koento Hadi Poernomo SH simpang-siur keberadaannya hingga kini. Anaknya tidak akan pernah tahu sosok ayahnya karena saat Koento berangkat ke Aceh ia meninggalkan istrinya di Jawa dalam kondisi hamil.

Hanya kesedihan level dewa yang bisa dirasakan anaknya yang kini telah dewasa jika malam-malam rapuh. Nalurinya terketuk mencari sosok ayah yang tidak pernah dilihatnya sejak lahir, tapi dirasakan kehadiran ayahnya mengalir di pembuluh darah. Tidakkah itu dulu dipikirkan?

Dulu, ya dulu sekali, kita belajar menghapus cerita getir hakim Koento di memori dengan mengganti cerita getir lainnya tentang kisah Hakim Agung Ketua Muda Bidang Pidana MA Syafiudidin Kartasasmita yang merenggang nyawa ditembak mati di jalanan tahun 2001.

Memaklumi situasi dengan simplikasi jika hakim agung saja bisa tewas dalam bertugas, apalagi hakim tingkat pertama di daerah. Minim simpati kelembagaan organisasi dan menjauhkan diri kita dari hikmah solidariti.

Ada cerita berbuku-buku cerita tentang hakim dan keluarga pengadilan baik di PN, PA, dan PTUN/militer, yang berjuang dalam pengungsian. Bahkan merasakan sedih dan penyesalan tak berkesudahan karena kehilangan keluarga yang dicintai akibat bencana gempa dan tsunami saat bertugas di daerah seperti Lampung, Bengkulu, Aceh, Nias, Yogyakarta, dan Padang.

Dulu, tapi itu dulu sekali saya dan mungkin warga pengadilan lainnya tidak merasakan hadirnya lembaga dan organisasi di tengah-tengah kesedihan itu. Mungkin saya terlalu besar harapan, terlalu cengeng hingga mengeluhkan, terlalu lemah menerima kenyataan. Bahwa sebagai orang yang berprofesi  siap ditempatkan di mana saja, bekerja layaknya peladang berpindah, harusnya sadar sedari awal tentang risiko pekerjaan. Hingga saya dan mungkin warga pengadilan lainnya kemudian meneguhkan bahwa memang nasib demikian, terima saja,  hadapi dan rasakan sendiri sebagai bagian dari hidup dalam tahapan.

Lalu kini, ya kini, saya melihat dan merasakan sendiri bagaimana solidaritas dari lembaga hadir dan peduli di tengah-tengah bencana yang dirasakan keluarga pengadilan saat tertimpa musibah. Hal yang sangat sederhana misalnya, IKAHI selalu mengirimkan karangan bunga duka cita ke alamat rumah duka jika ada kabar hakim berpulang ke rahmatullah.

Karangan bunga memang sederhana tapi pesan yang disampaikan organisasi melalui papan bunga ucapan duka (menyusul ucapan duka dan simpati dari media sosial lainnya), tentu mewakili pesan ratusan ribu hakim di Nusantara. Bahwa, MA dan IKAHI ikut larut dalam duka mendalam atas kesedihan dan memetik hikmah suatu saat datang giliran.

Kini, ya kini, cerita tentang solidaritas lembaga dan organisasi makin lebih baik. Pada September 2018 lalu Mahkamah Agung RI dan IKAHI di tengah-tengah keriuhan merayakan Turnamen Tenis warga pengadilan di Bali, masih menyempatkan waktu untuk menyalurkan donasi atas musibah gempa di Lombok.

Ketua Mahkamah Agung  M. Hatta Ali bersama wakil ketua MA dan unsur pimpinan MA serta para pejabat eselon I MA hadir langsung melihat kondisi bencana di lapangan. Mereka menyerahkan donasi yang dikumpulkan dari MA dan warga pengadilan seluruh nusantara berjumlah total sebesar Rp1,58 miliar.

Dana sebesar Rp 800 juta telah disalurkan secara tunai kepada sebagian warga pengadilan di wilayah hukum Lombok dan sebagian lagi kepada masyarakat lainnya melalui Wakil Gubernur Nusa Tenggara Barat Muhamad Amin.

Sedangkan sisa donasi lainnya diberikan dalam bentuk barang berupa enam unit tenda pleton ukuran 6 x 14 meter, 50 tenda keluarga, 400 lembar selimut, sarung, matras, dan sleeping bag. Waktu itu saya ada di Bali dan baru beberapa hari pulang dari bertugas menjadi Relawan 69, yakni kelompok relawan kemanusiaan lintas profesi di Lombok.

Saya sangat antusias dengan apa yang dilakukan oleh MA dan IKAHI tersebut. Dalam hati, saya merasa baru kali itulah saya berada dalam puncak rasa bangga sebagai warga MA dan anggota IKAHI. Haru melihat pimpinan lembaga dan organisasi tempat saya bekerja dan bernaung melakukan aksi solidaritas dan kemanusiaan secara langsung kepada warganya sendiri dan masyarakat lainnya. Sungguh jauh berbeda dengan masa-masa yang lalu.

Kebanggaan saya makin bertambah terhadap Mahkamah Agung dan IKAHI ketika terjadi kehancuran akibat bencana gempa, tsunami, dan likuifaksi di Palu, Donggala, dan Sigi Provinsi Sulawesi Tengah. MA dan IKAHI memobilisasi dan mengorganisasi bantuan dari seluruh penjuru warga pengadilan di tanah air melalui rekening donasi Mahkamah Agung, IKAHI, dan Dharmayukti Karini, organisasi perempuan warga pengadilan.

Bantuan kemanusian tersebut diberikan dalam bentuk dana ratusan juta rupiah, makanan, tenda, dan pakaian kepada warga pengadilan serta warga Sulteng lainnya.

Beberapa minggu usai bencana di Sulawesi Tengah tersebut kemudian IKAHI sebagai organisasi yang menaungi hakim seluruh Indonesia itu, mengirimkan belasan tim relawan IKAHI yang terdiri dari hakim-hakim muda untuk turun langsung melakukan aksi heroik dan kemanusiaan. Menyalurkan bantuan dari Mahkamah Agung dan IKAHI di titik Bencana di Palu, Donggala, dan Sigi.

Belasan Relawan IKAHI tersebut  begabung bersama para hakim dan warga pengadilan lainnya di Sulawesi Tengah dengan bergotong-royong membangun puluhan hunian sementara (huntara), trauma healing korban, dan memberi bantuan medis dengan menggandeng dokter-dokter dari keluarga pengadilan.

Kini ya kini, Mahkamah Agung dan IKAHI makin responsif dan sudah tidak canggung lagi. Di media sosial dan televisi saya melihat begitu cepat dan tanggapnya lembaga dan organisasi ini dalam merespons situasi krisis dan bencana.

Ketua Umum Pengurus Pusat IKAHI  Dr H Suhadi SH MH dengan jajaran pengurus terasnya langsung menggelar rapat dan pers rilis sesaat setelah empat orang hakim yang berada di antara 189 penumpang pesawat Lion Air GT 610 jurusan Jakarta-Pangkal Pinang jatuh di perairan laut Tanjung Kerawang pada Senin (29/10/2018).

IKAHI langsung menyampaikan simpati dan kesedihan yang mendalam mewakili ratusan ribu warga pengadilan di Indonesia atas peristiwa jatuhnya pesawat, yang hingga kini masih terus dilakukan pencarian tehadap jasad-jasad korban.

IKAHI menyerukan untuk memasang pita hitam sebagai simbol duka mendalam dan kehilangan atas empat orang hakim yang berada dalam pesawat tersebut. Pengurus pusat IKAHI juga mengirimkan relawan ke Pelabuhan JICT Tanjung Priok untuk bertugas membantu keluarga pengadilan yang menjadi korban, mendapat pelayanan dan informasi akurat dalam pencarian korban jatuhnya pesawat tersebut.

Seruan dan aksi yang sederhana dari IKAHI ini tentu membangkitkan solidaritas dan merajut kembali kecintaan terhadap lembaga Mahkamah Agung RI dan organisasi IKAHI.